Tokoh Pembaharuan Islam Modern : Muhammad Abduh

BAB I
PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang
Dunia Islam yang sulit untuk menerima segala macam tuntutan kemajuan yang sudah seharusnya kita ikuti membuat tokoh bernama Muhammad Abduh tak patah semangat dalam menyuarakan evolusi dalam segala bidang, baik pendidikan, sosial, kemasyarakatan dan hukum kenegaraan. Bila keadaan seperti ini dibiarkan berlarut-larut menghinggapi umat Islam, maka kita akan terus terpuruk dan sulit untuk bangkit dan mengulang kejayaan seperti pada masa klasik.
b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang keluarga Muhammad Abduh?
2.      Bagaimana latar belakang pendidikan Muhammad Abduh?
3.      Bagaimana perjalanan karir Muhammad Abduh?
4.      Bagaimana kontribusi pemikiran oleh Muhammad Abduh terhadap pembaharuan Islam di era modern?
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
a.    Kelahiran, Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan Serta Perjalanan Karir Muhammad Abduh
Muhammad Abduh yang memiliki nama lengkap Muhammad Abduh ibn Hasan Khair Allah lahir pada tahun 1849 M/1265 H di sebuah desa di Gharbiyyah, Mesir. Ibunya merupakan keturunan Arab suku bangsa Umar ibn Al-Khattab. Muhammad Abduh berasal dari keluarga petani yang sederhana, taat dan cinta ilmu. Ia belajar membaca dan menulis dari orangtuanya. Dengan kecerdasan yang sangat baik, dalam kurun waktu dua tahun Muhammad Abduh telah menghafalkan seluruh isi al-Qur`an tepatnya pada usia 13 tahun. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan di Thanta, berguru kepada Syekh Darwisy, paman dari ayahnya. Syekh Darwisy telah menumbuhkan kembali sikap cinta pada ilmu dan mengarahkan Muhammad Abduh pada kehidupan sufi setelah sebelumnya sempat merasa tidak puas dengan metode pengajaran hapalan yang ada di Thanta.[1]
Selanjutnya Muhammad Abduh mengikuti pendidikan Agama di Universitas Al-Azhar dan tamat pada tahun 1876 dengan mendapat ijazah Alimiyyah. Dalam perkembangannya, Muhammad Abduh dikenal sebagai sebagai seorang ahli tafsir, hukum Islam, bahasa Arab dan kesusasteraan, logika, ahli ilmu kalam, filsafat dan soal-soal kemasyarakatan. Ia seorang ulama besar, penulis kenamaan dan pendidik yang berhasil, pembaharu Mesir modern yang bergerak dalam lapangan kemasyarakatan, seorang pembela Islam yang gigih, seorang wartawan yang tajam penanya, seorang hakim yang jauh pandangannya, pemimpin dan politikus ulung, dan akhirnya seorang mufti, suatu jabatan yang keagamaan yang tertinggi di Mesir. Prof. Ishak M. Husaini melukiskan beliau sebagai berikut “Muhammad Abduh sungguh orang luar biasa, bakatnya meliputi hampir seluruh bidang kehidupan dan kegiatan-kegiatannya mempengaruhi banyak negeri Islam. Dia menolak serangan-serangan sarjana Barat terhadap Islam dengan menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan akal; justru bagi Islam akal merupakan anak kunci keimanan akan Tuhan.[2]
Pada tahun 1877 seorang tokoh Islam; Jamaluddin Al-Afghany datang ke Mesir. Muhammad Abduh menemui beliau. Pada pertemuan pertama mereka telah berdiskusi mengenai masalah ilmu tasawuf dan tafsir al-Qur`an. Muhammad Abduh yang dikaruniakan Allah dengan akal pikiran yang cemerlang sangat kagum akan luasnya ilmu yang dimiliki Jamaludin, serta sangat tertarik terhadap cara berpikir yang modern. Sejak saat itu Muhammad Abduh senantiasa mendampingi Jamaludin Al-Afghany yang diakuinya sebagai guru besarnya.[3]
Dua serangkai, Sayid Jamaludin al-Afghany dan Syekh Muhammad Abduh berjuang dan bercita-cita terwujudnya izzul Islam wal muslimin, terwujudkan kejayaan Islam dan kemuliaan umat Islam di negeri muslim manapun juga, termasuk Mesir. Namun dalam perjalanan sejarahnya, kalau semula kedua tokoh ini menggunakan kegiatan politik sebagai sarana dan strateginya, akan tetapi kemudian antara keduanya mempunyai pandangan yang berbeda. Kalau Jamaludin lebih menitikberatkan pada perjuangan dalam bidang politik kenegaraan dalam bentuk merebut kekuasaan dari tangan penjajah. Dan untuk itu satu-satunya cara adalah dengan jalan revolusi. Sementara Muhammad Abduh menegaskan bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangkan terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin di samping umat Islam berani merebut kekuasaan politik kenegaraan, maka terlebih dahulu dibenahi adalah mulai dari perjuangan memperbaharui sumber-sumber tempat timbulnya para mujadid dan ulama. Lewat sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang menyebar seluruh penjuru dunia sebagai pelopor kemerdekaan berpikir dan menentukan langkah pembaharuan masyarakat Islam yang penuh harga diri.
Pada tahun 1882, Muhammad Abduh diusir oleh pemerintah mesir karena dianggap ada hubungan dengan pemberontakan yang dipimpin oleh Ahmad Urabi Pasha di Turki. Pertama kali ia pergi ke Beirut, Syiria kemudian dua tahun berikutnya ia pergi ke Paris memenuhi ajakan dan panggilan guru dan tokoh idolanya Sayid Jamaludin al-Afghany yang telah terlebih dahulu menetap di kota Paris. Kedua tokoh ini lalu mendirikan suatu perhimpunan yang dinamakan al-Urwatul Wutsqa atau tali persaudaraan yang kokoh. Dan agar bisa menyalurkan semua aspirasinya dalam rangka membangun Izzul Islam wal Muslimin kedua tokoh ini menerbitkan majalah dengan nama yang sama dengan perhimpunannya, yaitu al-Urwatul Wutsqa. Tak lama bertahan, karena dianggap akan membahayakan politik bagi negara jajahannya, Perancis pun melarang terbitnya majalah tersebut dan Muhammad Abduh pun pergi meninggalkan Prancis.
            Di kota Beirut inilah Muhammad Abduh memulai babakan perjuangan baru. Kalau semula ia aktif di bidang politik, mengikuti pola perjuangan guru besarnya Al-Afghany, maka mulai dari kota Beirut ini ia mengaktifkan diri dalam bidang sosial kependidikan. Ia diterima sebagai guru di Madrasah Sultaniyyah. Diantara murid-muridnya di Madrasah tersebut tercatat nama Amir Syakieb Arslan, seorang siswa berotak cemerlang dan mempunyai bakat menulis. Kelak dari tokoh ini lahirlah buah karangannya yang berjudul “Li madza taakhkharal muslimuna wa taqaddama ghoiruhum” atau “ Mengapa muslim menjadi mundur sementara orang lain maju?”. Karya yang sangat bagus ini hakikatnya adalah hasil diskusi dengan Muhammad Abduh maupun Sayid Jamludin Al-Afghany. Lewat analisis yang cukup teliti, Amir menyimpulkan bahwa sebab musabbab orang Barat menjadi maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan umat Islam menjadi mundur karena meninggalkan ajaran agamanya. Adapun mata kuliah yang disampaikan Muhammad Abduh di Madrasah Sultaniyyah antara lain adalah mata kuliah tauhid. Kelak di kemudian hari dari kumpulan kuliah-kuliahnya disekitar masalah tauhid ini dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul “Risalah Tauhid” sebuah buku yang cukup terkenal di dunia Islam sampai hari ini.
         Pada tahun 1888, Muhammad Abduh diizinkan kembali ke Mesir. Kembali mengajar di Al-Azhar tetapi tidak diizinkan mengajar di Dar al-Ulum.[4] Jabatan pertama yang diberikan oleh pemerintah kepadanya adalah jabatan hakim. Setelah menekuni jabatan sekitar dua tahun, ia dipromosikan sebagai hakim tinggi pada pengadilan tinggi Mesir. Sebagai seorang cendekiawan , sekalipun jabatan hakim dijalani hanya dalam waktu yang sangat singkat namun ia telah dapat memberikan masukan dan usulan untuk perbaikan dunia peradilan agama di Mesir.
Tahun 1894, Muhammad Abduh diangkat sebagai anggota pimpinan tertinggi Universitas Al-Azhar yang dibentuk atas anjurannya juga. Di samping itu, ia pun memberikan kuliah sebagai guru besar di Al-Azhar. Kesempatan emas ini dipergunakan Muhammad Abduh dipergunakan sebaik mungkin. Abduh mulai melancarkan ide-ide pembaharuan kampus, baik dalam bidang administrasi, kurikulum dan peningkatan mutu kuliah. Juga tidak dilupakan upaya peningkatan kesejahteraan mahasiswa dan dosen, pembangunan asrama dan ruang kuliah serta lainnya. Bahkan ia telah memberikan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang lain yaitu memberikan kuliah tambahan tentang ilmu pengetahuan yang diperlukan mahasiswa bagi perkembangannya di kemudian hari, seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu pasti dan filsafat. Buku-buku yang ditulisnya semasa hidup antara lain:[5]
1.      Al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Manadiyah (Islam: Agama, Ilmu dan Peradaban)
2.      Risalah al-Tawhid (Kajian Tentang Tauhid)
3.      Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani
4.      Nasyiah ‘ala Syarh Dawani li al-Aqa’ida al-Adudyah
Puncak karir  Muhammad Abduh didapatkan pada tahun 1899, ketika ia diangkat sebagai mufti kerajaan Mesir. Suatu jabatan keagamaan tertinggi di Mesir. Jabatan ini tetap diemban hingga wafatnya beliau pada 11 Juli 1905 ketika mencapai usia 56 tahun.
b.        Kontribusi Muhammad Abduh Terhadap Pembaharuan Islam
1.      Bidang Pendidikan
Pembaharuannya di bidang pendidikan dipusatkan Universitas  Al-Azhar. Pembaharuan menyangkut sistem pengajaran seperti metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan guru. Bukan juga mencakup sarana fisik seperti asrama mahasiswa, perpustakaan dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa. Dampak positif dari ini, meningkatnya jumlah mahasiswa yang diuji, bila sebelumnya hanya 5 orang yang mampu diuji, pada masa pembaharuan meningkat menjadi 95 orang dan yang lulus ujian sekitar sepertiganya.[6] Pada masa ini juga, berbagai macam ilmu pengetahuan yang selama ini dianaktirikan seperti ilmu hisab, aljabar, geografi, filsafat dan sebagainya dimasukkan ke dalam kurikulum al-Azhar.
2.      Bidang Hukum
Ketika menjadi mufti tahun 1899, Muhammad Abduh melakukan pembaharuan bahwa tugas mufti bukan hanya sebagai penasihat hukum bagi kepentingan negara saja, melainkan juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang membutuhkan jasanya.selama ini, mufti hanya bertugas untuk kepentingan negara tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat.
3.      Bidang Pengelolaan Wakaf
Wakaf juga merupakan institusi yang menjadi perhatian Muhammad Abduh membentuk Majelis Administrasi Wakaf dan duduk sebagai anggota. Ia berhasil memasukkan perbaikan mesjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan dana wakaf, maka mulai memperbaiki perangkat mesjid, pegawai mesjid sampai dengan imam/khatib yang kemudian sempat diharuskan berasal dari al-Azhar agar mudah dalam meluruskan serta mengurangi kesalahpahaman terhadap agama yang sering tidak beralasan dan tidak dapat dipegang.
BAB III
PENUTUP
a.       Kesimpulan
Muhammad Abduh merupakan tokoh pembaharuan di era modern yang banyak memberikan kontribusi dalam bentuk pemikirannya untuk memajukan di segala bidang agama, ekonomi, hukum, politik, pendidikan, dan lain-lain. Dalam berjuang tak sedikit penolakan yang di terima Muhammad Abduh, terutama di seputar masalah ijtihad, banyak ulama yang menetang beliau.

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,Syamsul,dkk. Studi Kemuhammadiyahan. 2010. LPID: Surakarta.

Pasha, Musthafa Kamal. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam.2002. LPPI: Yogyakarta.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedi Islam. 2001. Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta

Amini, Nur Rahmah. Kemuhammadiyahan. 2014.UMSU Press : Medan.




[1]          Syamsul Hidayat,dkk, Studi Kemuhammadiyahan, LPID, 2010, Surakarta, cet. 2, hlm. 15
[2]                Musthafa Kamal Pasha, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, LPPI, 2002, Yogyakarta, cet.2, hlm. 56
[3]               Ibid.
[4]               Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, Jakarta, jilid 3, cet. 8, hlm. 256
[5]               Nur Rahmah Amini, Kemuhammadiyahan, UMSU Press, 2014, Medan,  cet.1, hlm. 35
[6]               Ibid

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian, Fungsi dan Manfaat Pembelajaran Bermakna : David Ausubel

Contoh Media Pembelajaran Poster